Hari Jumat kemarin Fikri sekolah
seperti biasa. Pulang pun dijemput mbah utinya terus bubuk siang. Ketika saya
pulang dari sekolah dia masih tidur. Saya pun melanjutkan aktifitas trus
kemudian juga istirahat siang. Ketika anak-anak les sudah datang, saya pun
bangun untuk sholat dhuhur dan berlanjut memulai mengajar. Di tengah-tengah
mengajar itulah Fikri bangun. Alhamdulillah bangun tidur dia senyam senyum dan
bisa bermain dengan ceria dengan mbak mas. Tapi masalah muncul ketika dia
menjadi mewek dan meminta untuk dibelikan
kertas isi binder.
Entah bagaimana awal mulanya sampai
dia mempunyai keinginan buat beli hal tersebut. Bagi saya bukan masalah
harganya, tapi apalah arti kertas isi binder atau pun binder bagi anak TK A
yang masih belum fasih menulis dan menulis pun masih memakai buku kotak. Sebenarnya
saya berniat memahamkan ke Fikri bahwa yang perlu kita beli adalah kebutuhan
bukan keinginan. Maka dengan bahasa sesederhana mungkin saya bilang ke Fikri
yang lagi menangis, “Kakak, kertas isi binder tersebut boleh dipakai kalau
sudah lancar menulis. Biasanya yang memakai mbak mas mahasiswa. Kakak kan masih
TK jadi belum butuh itu. Nanti kalau sudah bisa menulis bagus, boleh lah ayah
bunda belikan isi binder kayak itu”. Mendengar kata-kata saya bukannya dia
diam, malah dia menangis dengan kencang. Ditambah saya ingat kalau dia lagi
lapar karena belum makan siang, waduh alamat tantrum lagi.
Segera saya ambilkan makanan, kalau
nasi dan sayur lauk, kalau tidak lagi mood dia akan menolak. Maka saya ambilkan
jenang yang ada di kulkas dan saya taruh di mangkok dan saya letakkan di
dekatnya. Karena saya rayu-rayu belum mau diam, dan karena anak-anak sudah
menunggu untuk diajar di luar akhirnya saya tinggalkan Fikri yang lagi menangis
di kamar sendiri untuk mengajar di teras.
Hampir beberapa saat Fikri menangis
dan belum bisa diam. Akhirnya ketika ada jeda anak-anak lagi mengerjakan tugas,
saya hampiri Fikri ke kamar. Saya peluk dengan hangat sambil saya elus-elus
punggungnya, “Kakak sudah yuk nangisnya, ini loh jenangnya enak, yuk dimaem”. Alhamdulillah
karena kecapekan, akhirnya dia mau diam dan mau maem sambil nonton kartun
kesukaannya.
Bersyukur saat itu akhirnya Fikri
bisa diam. Sering sekali dia menginginkan hal-hal yang bukan merupakan
kebutuhannya. Saat ini saya masih terus berusaha mengajarinya untuk membedakan
keinginan dan kebutuhannya. Tapi jujur, masih berat sekali. Sering malah
ayahnya yang tidak tegaan dan selalu berusaha menuruti segala keinginannya. Apalagi
mbah kung dan mbah uti yang menjadi pembela Fikri kalau dia lagi nangis. Prinsip
yang penting anak diam jadi berlaku. Waduh
kalau sudah seperti ini saya jadi merasa tidak berdaya.
Alhamdulillah dengan membaca
komentar di grup, saya jadi bersemangat lagi untuk berusaha mendidik Fikri
lagi. Entah berapa kali gagal, insyaalloh akan saya coba lagi. Sambil terus
berdoa semoga kami dimudahkan dalam mendidik anak dan Fikri pun juga dijadikan
anak yang menurut kepada ayah bundanya, amin.
#Hari10
#KuliahBunsayIIP
#Tantangan10Hari
#Level8
#RejekiItu
PastiKemuliaanHarusDicari
#CerdasFinansial